Oleh Ahmad Nurkholish, M.Pd. (Ketua Perguntara Lampung dan Anggota Dewan Restorasi Pendidikan)
Cikal bakal Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) diawali pada 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, mereka umumnya bertugas di sekolah desa dan sekolah rakyat angka dua. Namun, tidak menghalangi mereka rukun bersama.
PADA 1932 PGHB berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengagetkan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, istilah Indonesia mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi kolonial Belanda. Sebaliknya, kata Indonesia ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa ini. Saat bala tentara Jepang menguasai Indonesia, semua organisasi termasuk PGI dilarang tumbuh berkembang.
Seratus hari pasca proklamasi tepatnya 24 dan 25 November 1945, guru-guru pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam PGI berkongres di Surakarta. Melalui kongres inilah, PGI metamorphosis menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sebagai wujud apresiasi positif pemerintah Orde Baru kepada guru, Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 78/1994 menetapkan hari lahir PGRI sebagai Hari Guru Nasional.
Kini, PGRI sudah tidak muda lagi. Kemampuan dan kekuatan yang ada mulai menurun. Sementara permasalahan-permasalahan guru dan pendidikan makin dinamis dan sporadis. Sangat wajar, jika pemerintahan Era Reformasi menerbitkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di mana dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 41 ayat 1 menegaskan guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen. UU No. 14/2005 ini menjadi landasan hukum guru-guru muda berjiwa progresif revolusioner dan anti kemapanan, secara sadar terorganisir mendeklarasikan organisasi profesi guru, baik bersifat lokal maupun nasional.
Tidak sedikit organisasi profesi guru yang berlepas diri dari PGRI, kerap disalahmengertikan, ada yang mengatakan sempalan, oposan atau juga tandingan. Ketidakmengertian ini kadang kala dilegitimasi oleh pernyataan-pernyataan yang tidak mendidik dari segelintir birokrat atau oknum pengurus PGRI menyatakan PGRI satu-satunya organisasi profesi guru yang legitimit dan diakui pemerintah. Selain bersifat nasional, juga menjadi bagian dari organisasi profesi guru internasional.
Statemen tidak berdasar ini harus disudahi. PGRI dan organisasi profesi guru lainnya, duduk bersama merumuskan kesepakatan, membangun komitmen meningkatkan kualitas pendidikan dan harkat guru. Ada tiga masalah utama, yang harus diselesaikan oleh PGRI dan organisasi guru lainnya. Penyelesaian ini bisa dilakukan secara bersama-sama, atau antara PGRI dan organisasi profesi guru lainnya cukup koordinasi berbagi tugas, menyelesaikan persoalan-persoalan yang terus berkembang.
Kesetaraan Profesi
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. (UU SPN. 1:1). Guru yang diangkat pemerintah maupun masyarakat, sama tugas dan kewajibannya, yang membedakan hanya tiga hal, kesejahteraan, pembinaan, dan jenjang karir.
Berbedanya kesejahteraan, pembinaan, dan jenjang karir ini, menjadi salah satu faktor penyebab tidak meratanya kualitas pendidikan. Guru-guru berpredikat PNS, ketika baru diangkat sudah menikmati 80% dari gaji pokok yang besarannya setara dengan guru berpredikat non-PNS yang sudah bekerja 15 tahun, bahkan kadang kala gaji guru non-PNS tidak mencapai angka di atas KHL. Selain gaji, mereka juga secara rutin mendapat pendidikan dan latihan, serta bimbingan teknis profesi guru secara berkala, sementara guru non PNS menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan pendidikan dan latihan, serta bimbingan teknis keguruan yang diselenggarakan pemerintah. Begitu juga masalah karir, guru-guru PNS sangat jelas jenjang karirnya, sementara guru non-PNS tidak memiliki kejelasan jenjang karir.
Perlakuan ini bertolak belakang dengan UUD NKRI 1945 pasal 27 ayat 1, yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Merujuk pasal ini, kesetaraan profesi guru sangat penting bagi masa depan pendidikan di negeri ini, oleh karenanya pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana ditetapkan UU RI No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berbagi tugas dan wewenang. Untuk guru-guru PNS pengelolaannya dikembalikan kepada pemerintah pusat, sementara guru-guru non PNS pengelolaannya di tangani pemerintah provinsi untuk level pendidikan menengah, dan pemerintah kabupaten kota untuk level pendidikan dasar. Pembagian tugas dan wewenang ini selain akan meminimalisasi kecemburuan antara guru PNS dan non-PNS, pertumbuhan pendidikan akan berjalan selaras dengan kepentingan bangsa dan negara.
Kepemilikan Sekolah
Hampir sebagian besar guru non-PNS bekerja pada sekolah yang dimiliki yayasan kapitalis. Minusnya kuantitas guru yang mendirikan sekolah, menyebabkan guru menjadi tawanan di rumahnya sendiri. Di awal sekolah didirikan, semua guru dituntut prihatin dan bekerja secara maksimal, ketika sekolah berjaya, bergelimang materi dan popularitas, tidak sedikit guru-guru pelopor tersebut dicari-cari kesalahan untuk dideportasi. Prahara ini kerap berulang, tetapi tidak banyak guru yang memetik pelajaran dan bertindak revolusioner.
Guru, cenderung menerima dan pasrah, potensi yang ada tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi keagungan profesi guru dan pendidikan itu sendiri, tetapi dibiarkan dipenetrasi dan dieksploitasi oleh oknum yayasan kapitalis.
Jika kondisi ini tidak segera dijungkirbalikkan, pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU SPN : 3) akan mengalami hambatan serius, bahkan pendidikan akan mengalami kebangkrutan moral dan identitas keilmuannya. Kecenderungan saat ini, sebagian besar sekolah dijadikan ATM, sementara guru dijadikan pekerja gotong-royong.
Kepala Dinas Pendidikan
Meski pengangkatan kepala dinas adalah hak prerogatif kepala daerah, tidak berarti kepala daerah mengabaikan aspirasi masyarakat pendidikan dan bertindak otoriter. Sangat tepat, manakala gubernur, bupati, dan wali kota mengangkat kepala Dinas Pendidikan adalah mereka yang mempunyai kompetensi dan pemahaman tentang pendidikan dan keguruan.
Ketepatan kepala daerah mengangkat Kadisdikbud, akan banyak membantu keberlangsungan pendidikan di daerahnya, sebab hanya mereka-mereka lah yang mampu menciptakan iklim pendidikan lebih kreatif dan dinamis. Bayangkan, kalau Kadisdikbudnya berasal dari dinas pasar atau PU, tentu yang ada dalam atmosfir berpikirnya bukan bagaimana memajukan pendidikan, akan tetapi bagaimana mencari proyek dan keuntungan sebesar-besarnya dari bidang pendidikan, padahal permasalahan di bidang pendidikan sangat kompleks dan berkembang.
Sangat wajar, manakala pendidikan di negeri ini tidak pernah beres. Sebab, yang menangani bukan orang-orang yang ahli dalam bidangnya.
Anomali ini cenderung mapan dan menanjak, disebabkan PGRI dan organisasi profesi guru yang ada, memperlihatkan ketidakberdayaannya di hadapan kekuasaan. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2008 tentang guru, bagian keduabelas mengenai kesempatan berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan pasal 45 ayat (3) berbunyi guru berkesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam: kebijakan operasional pendidikan daerah kabupaten atau kota.
PP ini memberi ruang kepada PGRI dan organisasi yang guru, menerima atau menolak pengangkatan Kadisdikbud yang tidak memiliki referensi pendidikan dan pengalaman kerja dalam bidang pendidikan, dan itu semua akan lebih efektif dan berkekuatan politik, manakala PGRI dan organisasi profesi guru yang lainnya berlapang dada menerima perbedaan organisasi, kemudian berserikat menjadi satu kekuatan ekstra parlementer yang aktif dan konstruktif.
Tiga permasalahan di atas jarang atau mungkin juga tidak disentuh oleh PGRI dan organisasi guru lainnya. Padahal, tiga masalah ini berakibat sistemik dan makro, guru dan organisasi guru terjebak pada permasalahan mikro yang sebenarnya sudah bisa tuntas cukup oleh PGRI. Akhirnya, semoga di hari lahir PGRI yang ke-66 ini, PGRI lebih bisa berkomunikasi dengan organisasi profesi guru secara bersahabat, dan menjadikan organisasi profesi guru yang lain sebagai mitra, menyelesaikan persoalan guru dan pendidikan. Selamat hari lahir PGRI Ke-66.
Cikal bakal Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) diawali pada 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, mereka umumnya bertugas di sekolah desa dan sekolah rakyat angka dua. Namun, tidak menghalangi mereka rukun bersama.
PADA 1932 PGHB berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengagetkan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, istilah Indonesia mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi kolonial Belanda. Sebaliknya, kata Indonesia ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa ini. Saat bala tentara Jepang menguasai Indonesia, semua organisasi termasuk PGI dilarang tumbuh berkembang.
Seratus hari pasca proklamasi tepatnya 24 dan 25 November 1945, guru-guru pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam PGI berkongres di Surakarta. Melalui kongres inilah, PGI metamorphosis menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sebagai wujud apresiasi positif pemerintah Orde Baru kepada guru, Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 78/1994 menetapkan hari lahir PGRI sebagai Hari Guru Nasional.
Kini, PGRI sudah tidak muda lagi. Kemampuan dan kekuatan yang ada mulai menurun. Sementara permasalahan-permasalahan guru dan pendidikan makin dinamis dan sporadis. Sangat wajar, jika pemerintahan Era Reformasi menerbitkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Di mana dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 41 ayat 1 menegaskan guru dapat membentuk organisasi profesi yang bersifat independen. UU No. 14/2005 ini menjadi landasan hukum guru-guru muda berjiwa progresif revolusioner dan anti kemapanan, secara sadar terorganisir mendeklarasikan organisasi profesi guru, baik bersifat lokal maupun nasional.
Tidak sedikit organisasi profesi guru yang berlepas diri dari PGRI, kerap disalahmengertikan, ada yang mengatakan sempalan, oposan atau juga tandingan. Ketidakmengertian ini kadang kala dilegitimasi oleh pernyataan-pernyataan yang tidak mendidik dari segelintir birokrat atau oknum pengurus PGRI menyatakan PGRI satu-satunya organisasi profesi guru yang legitimit dan diakui pemerintah. Selain bersifat nasional, juga menjadi bagian dari organisasi profesi guru internasional.
Statemen tidak berdasar ini harus disudahi. PGRI dan organisasi profesi guru lainnya, duduk bersama merumuskan kesepakatan, membangun komitmen meningkatkan kualitas pendidikan dan harkat guru. Ada tiga masalah utama, yang harus diselesaikan oleh PGRI dan organisasi guru lainnya. Penyelesaian ini bisa dilakukan secara bersama-sama, atau antara PGRI dan organisasi profesi guru lainnya cukup koordinasi berbagi tugas, menyelesaikan persoalan-persoalan yang terus berkembang.
Kesetaraan Profesi
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. (UU SPN. 1:1). Guru yang diangkat pemerintah maupun masyarakat, sama tugas dan kewajibannya, yang membedakan hanya tiga hal, kesejahteraan, pembinaan, dan jenjang karir.
Berbedanya kesejahteraan, pembinaan, dan jenjang karir ini, menjadi salah satu faktor penyebab tidak meratanya kualitas pendidikan. Guru-guru berpredikat PNS, ketika baru diangkat sudah menikmati 80% dari gaji pokok yang besarannya setara dengan guru berpredikat non-PNS yang sudah bekerja 15 tahun, bahkan kadang kala gaji guru non-PNS tidak mencapai angka di atas KHL. Selain gaji, mereka juga secara rutin mendapat pendidikan dan latihan, serta bimbingan teknis profesi guru secara berkala, sementara guru non PNS menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan pendidikan dan latihan, serta bimbingan teknis keguruan yang diselenggarakan pemerintah. Begitu juga masalah karir, guru-guru PNS sangat jelas jenjang karirnya, sementara guru non-PNS tidak memiliki kejelasan jenjang karir.
Perlakuan ini bertolak belakang dengan UUD NKRI 1945 pasal 27 ayat 1, yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Merujuk pasal ini, kesetaraan profesi guru sangat penting bagi masa depan pendidikan di negeri ini, oleh karenanya pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana ditetapkan UU RI No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, berbagi tugas dan wewenang. Untuk guru-guru PNS pengelolaannya dikembalikan kepada pemerintah pusat, sementara guru-guru non PNS pengelolaannya di tangani pemerintah provinsi untuk level pendidikan menengah, dan pemerintah kabupaten kota untuk level pendidikan dasar. Pembagian tugas dan wewenang ini selain akan meminimalisasi kecemburuan antara guru PNS dan non-PNS, pertumbuhan pendidikan akan berjalan selaras dengan kepentingan bangsa dan negara.
Kepemilikan Sekolah
Hampir sebagian besar guru non-PNS bekerja pada sekolah yang dimiliki yayasan kapitalis. Minusnya kuantitas guru yang mendirikan sekolah, menyebabkan guru menjadi tawanan di rumahnya sendiri. Di awal sekolah didirikan, semua guru dituntut prihatin dan bekerja secara maksimal, ketika sekolah berjaya, bergelimang materi dan popularitas, tidak sedikit guru-guru pelopor tersebut dicari-cari kesalahan untuk dideportasi. Prahara ini kerap berulang, tetapi tidak banyak guru yang memetik pelajaran dan bertindak revolusioner.
Guru, cenderung menerima dan pasrah, potensi yang ada tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi keagungan profesi guru dan pendidikan itu sendiri, tetapi dibiarkan dipenetrasi dan dieksploitasi oleh oknum yayasan kapitalis.
Jika kondisi ini tidak segera dijungkirbalikkan, pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU SPN : 3) akan mengalami hambatan serius, bahkan pendidikan akan mengalami kebangkrutan moral dan identitas keilmuannya. Kecenderungan saat ini, sebagian besar sekolah dijadikan ATM, sementara guru dijadikan pekerja gotong-royong.
Kepala Dinas Pendidikan
Meski pengangkatan kepala dinas adalah hak prerogatif kepala daerah, tidak berarti kepala daerah mengabaikan aspirasi masyarakat pendidikan dan bertindak otoriter. Sangat tepat, manakala gubernur, bupati, dan wali kota mengangkat kepala Dinas Pendidikan adalah mereka yang mempunyai kompetensi dan pemahaman tentang pendidikan dan keguruan.
Ketepatan kepala daerah mengangkat Kadisdikbud, akan banyak membantu keberlangsungan pendidikan di daerahnya, sebab hanya mereka-mereka lah yang mampu menciptakan iklim pendidikan lebih kreatif dan dinamis. Bayangkan, kalau Kadisdikbudnya berasal dari dinas pasar atau PU, tentu yang ada dalam atmosfir berpikirnya bukan bagaimana memajukan pendidikan, akan tetapi bagaimana mencari proyek dan keuntungan sebesar-besarnya dari bidang pendidikan, padahal permasalahan di bidang pendidikan sangat kompleks dan berkembang.
Sangat wajar, manakala pendidikan di negeri ini tidak pernah beres. Sebab, yang menangani bukan orang-orang yang ahli dalam bidangnya.
Anomali ini cenderung mapan dan menanjak, disebabkan PGRI dan organisasi profesi guru yang ada, memperlihatkan ketidakberdayaannya di hadapan kekuasaan. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2008 tentang guru, bagian keduabelas mengenai kesempatan berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan pasal 45 ayat (3) berbunyi guru berkesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam: kebijakan operasional pendidikan daerah kabupaten atau kota.
PP ini memberi ruang kepada PGRI dan organisasi yang guru, menerima atau menolak pengangkatan Kadisdikbud yang tidak memiliki referensi pendidikan dan pengalaman kerja dalam bidang pendidikan, dan itu semua akan lebih efektif dan berkekuatan politik, manakala PGRI dan organisasi profesi guru yang lainnya berlapang dada menerima perbedaan organisasi, kemudian berserikat menjadi satu kekuatan ekstra parlementer yang aktif dan konstruktif.
Tiga permasalahan di atas jarang atau mungkin juga tidak disentuh oleh PGRI dan organisasi guru lainnya. Padahal, tiga masalah ini berakibat sistemik dan makro, guru dan organisasi guru terjebak pada permasalahan mikro yang sebenarnya sudah bisa tuntas cukup oleh PGRI. Akhirnya, semoga di hari lahir PGRI yang ke-66 ini, PGRI lebih bisa berkomunikasi dengan organisasi profesi guru secara bersahabat, dan menjadikan organisasi profesi guru yang lain sebagai mitra, menyelesaikan persoalan guru dan pendidikan. Selamat hari lahir PGRI Ke-66.
0 komentar:
Posting Komentar